Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer
dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan,
simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti
akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau
itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala
tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia
sebagai garin, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah
yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari
hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong
kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan
yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai
tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan
kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan
mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan biang
keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu
muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan
dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang
mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah
pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku
tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya.
Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai
pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelakupelaku yang
diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak,
dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan
seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kamin sebut
pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah
Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan
Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
"Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh
tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri
kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak.
Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah
berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku,
bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa
yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua
pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah
membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya
sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku
tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan
kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang
kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca
Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku
menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum.
Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan
Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku
aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku
menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di
samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu
banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara
orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh.
Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di
masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang
yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat
orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa
dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah
Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di
dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut
nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia
kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada
lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan
segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan
menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh
Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering
oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih
dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku
katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan
tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh
tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya
di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti
dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak
kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati
mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji
Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di
suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan
selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkanNya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua,
dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya. ‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji
Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke
neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara
melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia
menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang,
mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka
berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan
dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O,
Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang
paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang
selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaranMu,mempropagandakan keadilan-Mu,
dan lain-lainnya.
Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah Engkau panggil kami
kemari, Engkau memasukkan Kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak
diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut
agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam
Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan
tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai
menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan
hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di
tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya,
bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.
Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.
Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya,
bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk
anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling
menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau
lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu
semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga
kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi
ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya
Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar,
terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi
engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku
tak pergi menjenguk. "Siapa yang meninggal?" tanyaku
kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu
aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana
dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
Cerpen “Radio
Masyarakat”
“Radio Masyarakat”
Kehendak zaman?.........Semangat baru?........Ya, barangkali buat
Tuan...Bagi saya belum terpikirkan........
Masih mendengung-dengung perkataan itu dalam telinga dokter
Hamzah. Seakan-akan diucapkan perlahan-lahan. Seperti seorang pembicara di muka
sidang ramai yang menekankan kata-katanya satu persatu, agar lebih meresap ke
dalam kalbu pendengarnya.
Sayup-sayup suara itu mendatang. Tertahan-tahan, tetapi terang dan
tidak ragu-ragu.Kata-kata yang diucapkan oleh kuswari tadi, tatkala ia datang
ke kamarnya untuk, katanya, diperiksa sakit badannya. Kuswari mengeluh
panjang-panjang. Seolah-olah dengan demikian hendak ia lemparkan segala beban
yang memberat, hendak ia lepaskan segala kepegalan yang menghimpit sukma.
Dokter Hamzah meletakkan alat-alat pemeriksanya. Kus disuruhnya
mengenakan bajunya kembali. Sementara ia berjalan-jalan di dalam kamar yang
sedang besarnya itu. Habis segala ilmunya digunakannya. Habis segala
kecakapannya dilepaskannya. Pendapat akhir tetaptak beralih. Kus tak kurang
apa-apa. Badannya dalam deadaan sehat. Sepanjang ilmu kedokteran.
Tetapi dimana letak pangkalnya segala-gala ini ? Mengapa Kus
semacam ini ? atau mestikah di sini dicari sebabnya dalam ilmu psikiatri lagi?
Kus sudah berdiri kembali di hadapannya menantikan kata keputusannya. Sikapnya
seperti seorang yang telah menyerah. Pandangannya lindap, bahkan kabur.
Kepalanya tunduk. “Ya, Kus, engkau tak kurang apa-apa. Engkau sehat, tak ada
obat yang dapat kuberikan tetapi....”
Ia berhenti sebentar. Ada yang dipikirkannya. Kus antara cemas dan
harap. Kemudian dengan tersenyum kata dr Hamzah pula. “tetapi ada juga obat
yang dapat kuberikan. Obat yang kalau dikatakan bersahaja, mahal juga
didapatkan. Kus, kau harus kisarkan pandangan hidupmu. Itulah satu-satunya obat
mujarab bagi penyakitmu. Kau mesti mencoba mengetahui apa kehendak zaman. Mesti
mencoba mendalami semangat baru, itu tak mudah. Tapi aku percaya, kau pandai
mencari dan menimbang sendiri. Buat sementara rasanya tak perlu kuterangkan
kepadamu. Cari dulu. Nah, Kus nanti kita bicarakan lagi.”
Sejurus Kus terdiam. Tetapi perlahan-lahan seakan-akan bertukar
cahaya mukanya, cahaya yang tak dapat disifatkan lebih jauh. Bibirnya
menggelung ejek. Cepat-cepat berhamburan katanya. “Kehendak zaman? Semangat
baru? Ya, barangkali buat Tuan. Bagi saya belum terpikirkan.” Cuma itu saja ia
berpaling, lalu terus meninggalkan dr. Hamzah, lupa ia menabik hatinya pedar!.
Cerpen “Radio
Masyarakat”
Dari: “Gema
Tanah Air” Prasa dan Puisi Karya HB Yasin
KARTINI – Cerpen
Putu Wijaya
Subuh hari pintu rumah Amat digedor.
Seorang tetangga muda muncul di depan pintu dengan muka berbinar-binar.
“Pak Amat,
anak saya sudah lahir, selamat dan sehat.”
Darah Amat
yang tadinya sudah naik langsung surut.
“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!
“Betul Pak Amat. Tolong!”
“Tolong?”
“Kasih nama. Saya belum punya nama.”
“Bagus! Selamat! Anak pertama kan?!
“Betul Pak Amat. Tolong!”
“Tolong?”
“Kasih nama. Saya belum punya nama.”
Amat cepat
berpikir. Hari Kartini baru saja lewat. Ia langsung menggapai.
“Beri nama Kartini!”
“Beri nama Kartini!”
Bapak muda
itu terpesona. Amat langusng cepat mengguncang tangannya.
“Tak usah nama yang muluk-mulul, apa artinya nama, biar anak itu sendiri uang mengubah namanya,. Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia akan jadi sejarah yang berguna bagi otang banyak. Selamat!”
“Tak usah nama yang muluk-mulul, apa artinya nama, biar anak itu sendiri uang mengubah namanya,. Siapa pun kamu sebut dia, kalau dia dididik dengan baik, dia akan jadi sejarah yang berguna bagi otang banyak. Selamat!”
Anak muda itu
masih bengong, tapi Amat tidak memberinya kesempatan bertanya lagi, langusng
menutupkan pintu lagi.
“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya minta nama segala, “kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat. “Kalau belum siap punya anak, kenapa bikin anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah sampai di mana kita tadi, Bu?”
“Lagi asyik-asyiknya, ada saja yang ganggu. Masak subuh-subuh begini nanya minta nama segala, “kata Amat sembari masuk kamar menghampiri Bu Amat. “Kalau belum siap punya anak, kenapa bikin anak. Masak nama saja bingung, Nanti kalau beli susu, periksa dokter, pasti lebih bingung lagi. Sudah sampai di mana kita tadi, Bu?”
Bu ternyata
sudah tidur pulas kembali. Amat kecewa berat.
Tapu besoknya Bu Amat malah marah-marah.
“Bapak keterlaluan!”
“Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok lagi!”
“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”
“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah. Nama itu bukan soal sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah berjasa membangkitkan kaum perempuan di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”
“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”
“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok. Itu namanya klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi sampah. Lihat itu anak tetangga kita namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”
“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”
“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda benci sama dia. Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi perjuangannya sangat berarti untuk membebaskan kaum perempuan di seluruh Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di bawah telapak kaki lelaki!”
“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”
Tapu besoknya Bu Amat malah marah-marah.
“Bapak keterlaluan!”
“Lho, bukannya Ibu yang keterlaluan! Baru ditinggal sebentar sudah ngorok lagi!”
“Masak ngasih nama anak orang Kartini.”
“Lho, memang kenapa? Ibu Raden Ajeng Kartini kan orang besar. Tokoh sejarah. Nama itu bukan soal sepele. Memberi nama anak harus dengan cita-cita, akan jadi apa anak itu kelak. Ibu Kartini kan sudah berjasa membangkitkan kaum perempuan di Indonesia supaya percaya diri. Dia itu hebat, Bu!”
“Memang. Tapi tidak semua orang yang namanya Kartini bisa seperti RA Kartini!”
“Makanya yang namanya usaha itu penting, jangan hanya bergantung dari nama tok. Itu namanya klenik. Nama sakti juga kalau pendidikannya tidak becus jadi sampah. Lihat itu anak tetangga kita namanya Gajah Mada, mau bapaknya supaya jadi orang besar, eh nyatanya cumakusir dokar.”
“Mendingan Gajah Mada. Jelas. Kok Kartini!”
“Lho tidak bisa dibandingkan begitu, Bu. Sebesar-besar Gajah Mada, orang Sunda benci sama dia. Sementara Kartini, walau pun hanya bangsawan Jawa, tapi perjuangannya sangat berarti untuk membebaskan kaum perempuan di seluruh Indonesia yang sampai sekarang nasibnya masih di bawah telapak kaki lelaki!”
“Betul! Tapi kalau anak laki diberi nama Kartini, itu namanya sudah sinting!”
Amat
terkejut.
“Lho, jadi anaknya laki-laki?”
“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”
“Lho, jadi anaknya laki-laki?”
“Sejak 5 bulan lalu dokter sudah bilang lelaki. Kok kasih nama Kartini?”
Amat bengong.
Ia cepat memakai sandal dan bergegas ke rumah tetangga itu. Anak muda itu sudah
hampir hendak berangkat ke klinik bersalin membawa perlengkapan untuk istri dan
anaknya.
“Terimakasih Pak Amat.”
Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.
“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama itu!”
“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak marah digedor subuh begitu. Namanya bagus.”
“Terimakasih Pak Amat.”
Amat jadi salah tingkah. Dengan malu dia mengulurkan tangan minta maaf.
“Maaf, Bapak tidak tahu. Aku memberikan nama sembarangan. Jangan pakai nama itu!”
“Tidak apa Pak Amat. What is a name. Saya berterimakasih sekali Pak Amat tidak marah digedor subuh begitu. Namanya bagus.”
Amat bingung.
“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”
“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.”
“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”
“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”
“Jabis aku kan tidak tahu,. asal nyeplos saja!.”
“Lho jangan ngasih nama anakmu Kartini!”
“Tapi Raden Ajeng Kartini kan pahlawan Pak Amat. Saya harap nanti anak saya akan berguna kepada bangsa seperti Kartini.”
“Jangan! Kenapa mesti kasih nama Kartini!”
“Itu kan pemberian dari Pak Amat?”
“Jabis aku kan tidak tahu,. asal nyeplos saja!.”
Anak muda itu
tertawa.
“Nama Kartini itu bagus, Pak!”
“Jangan!”
“Nama Kartini itu bagus, Pak!”
“Jangan!”
Anak muda itu
tertawa lagi lalu pergi..
“Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.
“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah kaulan, apa pun nama yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai. sebab sudah 11 tahun menikah belum punya anak.”
“Aku kira dia tersingung dan menyindir. Masak aku kasih nama anak lakinya dengan nama perempuan,” curhat Amat malam hari di meja makan.
“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan,”kata Bu Amat, “anak itu sudah kaulan, apa pun nama yang diberikan oleh orang pada anaknya akan dia pakai. sebab sudah 11 tahun menikah belum punya anak.”
Amat
terperanjat.
“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”
“Iya iyalah!”
“Jadi dia serius akan memberi nama putranya Kartini?”
“Iya iyalah!”
Amat tak jadi
makan. Ia merasa bersalah. Ia menunggu di depan rumah sampai larut malam.
Ketika anak muda itu pulang dari klinik, ia langsung menyapa.
“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”
“Gus, Kartini tadi datang menemui Bapak.”
Anak muda itu
terkejut.
“Siapa Pak?”
“Raden Ajeng Kartini.”
“Siapa Pak?”
“Raden Ajeng Kartini.”
Anak muda itu
tersenyum. Amat langsung mencecer.
“Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari penindasan, kata RA Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan akan bertemu untuk saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”
“Boleh lanjutkan perjuanganku, bebaskan perempuan-perempuan Indonesia dari penindasan, kata RA Kartini. Merdekakan kaumku agar mendapat perlakuan setara dengan kaum lelaki. Tetapi tidak perlu menjadi lelaki. Hakekat perempuan tetap perempuan, lelaki tetap lelaki, karena itu laki perempuan akan bertemu untuk saling melengkapi. Kalau kamu menjadikan perempuan lelaki dan lelaki itu perempuan, kamu sudah menodai perjuanganku!”
Anak muda itu
mengangguk
“Saya mengerti maksud Pak Amat.”
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”
“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”
“Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”
“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”
“Saya mengerti maksud Pak Amat.”
“Kalau begitu jangan kasih nama anakmu Kartini!”
“Tidak bisa Pak, sudah dicatatkan dalam akte kelahirannya.”
“Tapi kamu tidak boleh mengubah anak lelaki menjadi perempuan!”
“Anak saya perempuan Pak, bukan lelaki seperti yang diramalkan oleh Dokter.”
Valentine
Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia
mencari baju yang berwarna pink. Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada
pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket masuk. Warna lain akan
ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna pink. Tapi
harganya selangit.
“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan
pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus membongkar.
Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari,
sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam. Amat langsung protes.
“Kenapa sih pakai ikut-ikutan
valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”
Ami dan ibunya tidak peduli.
“Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!”
Bu Amat tak mendwengar. Ia terus
membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia kesal, makin Ami dan Bu
Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian, lalu keluar rumah.
“Ke mana Pak?”
“Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa
menoleh.
Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau
makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya kelihatan mau berangkat
kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang.
“Mau ke situ juga Pak Amat?”
“Ke situ ke mana? Mau cari makan ini.
Kenapa tutup?”
“Kan hari besar pak Amat.”
“Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan
valentine?”
“Bukan. Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan
ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga kan?”
“Lee?”
“Ya”
“Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?”
“Ya namanya juga silaturahmi Pak Amat.
Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang. Saya kan langganan tetap
dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.”
“Ah, mau cari makan ni!”
“Makan di situ saja, pasti enak semua!
Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo Pak!”
Tukang sate itu menstater motornya.
“Ya sudah, ikut sampai di alun-alun,
nanti turun di situ, makan ketupat!”
Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian
tidak turun di alun-alun, sebab asyik ngobrol. Tahu-tahu sudah sampai ke rumah
Lee.
“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget.
Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir
saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa tukang sate. Waktu
melihat Amat dia langsung datang dan mengguncang tangan Amat.
“Terimakasih pak Amat, terimakasih sudah
datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau datang? Kebetulan semua pada
sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di luar, ke dalam saja!”
Amat dan tukang sate dibawa masuk ke
dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan mewah. Padahal darii luar kelihatan
sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah pamer menunjukkan
kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan anak-anaknya
keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada lima. Mobilnya
banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang dulu menjadi langganan kuenya
tetap baik.
“Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang
ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.
Amat kemudian diperkenalkan kepada
ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di Amerika. Ada yang di Australia.
Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang paling besar di rumah
membantu Lee.
Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu
dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat hanya sekedar nyicip. Tapi setelah
melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan rakus, Amat jadi lupa
daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.
Banyak sekali tamu datang silih
berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan ketika pulang, tak
sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah. Diam-diam Amat
dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.
“Heran sudah kaya raya begitu,
tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada mobil-mobil
mewah ya,”kata Amat.
Tukang sate ketawa.
“Yang naik mobil nggak akan mau datang
Pak Amat.”
“Kenapa?”
“Pasti malu,”
“Lho kenapa? Kan silaturahmi?”
“Nanti dikira cari Ang Pao.”
“Ang Pao?”
“Ya. Kalau buat kita sih rezeki.
Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat amplop begini,:kata tukang sate
merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini untuk Pak Amat!”
Amat terkejut menerima amplop itu.
“Untuk saya ini?”
“Ya untuk pak Amat.”
“Bukannya untu di situ saja.”
“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri
Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti tidak akan mau kalau
dikasih langsung.”
Amat tertegun.
“Gimana? Apa untuk saya saja?”
Sekarang jelas. Banyak yang datang ke
rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia ingin sekali
mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah paham.
“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?”
Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop
itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia jadi merasa saying.
“Ini tradisi mereka ya?”
“Betul pak Amat. Setiap tahun saya
selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan. Bagaimana itu untuk saya
saja?”
“Tapi ini tradisi mereka kan?”
“Betul pak Amat.”
“Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi
kan? Kita menghormati tradisi kan?”
“Betul.”
“Ya sudah. Demi silahturahmi, saya
terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ tadi.”
“Tapi amplopnya untuk saya kan?”
Amat menggeleng.
“Meskipun Lee tidak melihat, kalau
amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak menghargai Lee. Itu tidak
baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”
Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka
bersalaman. Tukang sate nampak gembira.
“Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat
menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan, kalau pak Amat tidak mau,
ya buat saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”
Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia
pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya ada amplop yang menurut
ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil bersiul-siul, Amat masuk
ke dalam rumah.
Ami kelihatan nongkrong di depan
televisi bersama Bu Amat.
“Lho tidak ikut valentine?”
“Nggak ada baju pink.”
“Beli saja!”
“Duitnya dari mana?”
Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan
menyerahkan pada Ami.
“Nih. Lebihnya untuk Ibu.”
Ami dan Bu Amat melirik amplop itu
dengan heran. Amat langsung saja menembak.
“Kita ini masyarakat plural, jadi harus
bisa hidup saling menghargai. Itu namanya silahturahmi,”kata Amat.
Ami diam saja.
“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami
sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu terlambat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar