“Ini bukan hanya masalah tari pendet. Bukan
hanya masalah orang Bali. Ini harga diri kita sebagai bangsa. Kita tersinggung!
Pulau direbut, hutan dicuri, TKI disiksa bahkan ada yang mati. Warisan budaya,
tarian, bahkan masakan diklaim sebagai milik mereka. Ini sudah melanggar hukum.
Satu kali oke, kedua kali masih oke, tapi kalau sudah berkali-kali namanya
menantang. Kalau dibiarkan nanti jadi kebiasaan. Kita bisa dianggap bangsa
kelas dua yang boleh diremehkan. Tidak! Kita harus marah! Apa mau mereka memanas-manaskan
tungku yang sudah mendidih? Mentang-mentang kaya! Sakit hati karena pernah kita
ganyang? Oke sekarang kita juga sakit hati. Dan berkali-kali! Kepala sudah beku
karena coba dididingin-dinginkan. Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!”.
“Sabar!” potong Amat menghentikan
latihan pidato Ami, sebagai reaksi iklan parawisata Malaysia yang mengklaim
tari pendet sebagai bagian warisan budayanya.
“Sabar?”
“Tenang! Kita harus menyikapi semuanya
dengan bijak.”
“Bapak masih mau bijak padahal sudah
habis-habisan dibajak?”
“Ya, tapi coba lihat dari segi
positipnya. Itu kan hanya iklan. Katanya yang buat bukan orang setempat tapi
dibuatkan oleh apa itu namanya, Discovery Channel?”
“Siapa pun yang membuat, tapi itu kan
dipakai sebagai promosi negara? Negara mesti bertanggungjawab. Kecuali kalau
negara menganggap perbuatan mengklaim punya negara lain itu bukan kejahatan.
Itu namanya negara pencuri!”
“Stttttt ! Tenang Ami. Jangan cepat
darah tinggi! Coba lihat segi positipnya!”
“Dalam kriminalitas tidak ada yang
positip!”
“Ada! Dengerin! Justru itu bagus. Karena
turis yang dipikat untuk pergi ke sana, lama-lama akan tahu, tari pendet itu
rumahnya bukan di situ, tapi di Bali. Kalau mau nonton pendet, jangan ke situ,
tapi ke Bali. Nah, jadi itu kan iklan gratis buat kita? Promosinya dia yang
bayar, manfatnya kita yang sikat!”
Ami melotot.
“Bapak sudah kena virus kapitalisme!
Apa-apa selalu diukur dari kepentingan dagang. Persetan dengan keuntungan!
Parawisata tidak berarti kita menjual kehormatan! Harga diri harus dipertahankan
sampai titik darah penghabisan! Bangsa yang tidak punya harga diri lagi, adalah
bangsa budak? Bangsa kelas kambing! Ekonomi kita memang lagi berantakan, pamor
kita juga sedang pudar, rakyat kita miskin hanya makan tempe dan tahu, tapi
tidak berarti kita akan diam saja kalau diinjak. Sekarang baru tarian dan lagu,
lama-lama kepala kita akan diambil. Kita sudah merebut kemerdekaan dengan
revolusi berdarah, bukan dihadiahkan seperti mereka. Kita harus bertindak
sebelum terlambat!!”
“Tapi tari pendet kan sudah lama kurang
ditarikan lagi, Ami. Untuk menyambut tamu, sudah ada tari-tari baru yang
diciptakan. Untung ada iklan itu yang membuat kita jadi ingat kembali tari
pendet. Kita harus bisa mengambil hikmahnya. Kalau tidak ada klaim Malysia atas
tari pendet itu, kita mungkin lama-lama sudah lupa!”
Ami bengong,. Ia melihat bapaknya
seperti melihat hantu.. Hanya matanya yang memancarkan amarah yang sudah tidak
tertahankan. Kemudian tanpa menjawab sepatah, pun, dia langsung pergi. Sampai
malam, ia belum kembali. Hanya pesannya di atas secarik kertas muncul, diantar
oleh temannya.
“Ami nginap di rumah teman!”
Bu Amat kontan melabrak suaminya.
“Ini gara-gara Bapak!”
“Gara-gara aku?”
“Ya! Bapak salah!”
“Salahku apa?”
“Bapak melarang Ami marah sama Malaysia!”
“Aku tidak melarang, tapi ..
“Tapi melarang!”
“Memang. Karena ngomongnya sudah tidak
karuan. Boleh marah, tapi jangan sampai memaki-maki begitu!”
“Kenapa tidak. Kan sudah berapa kali
kita dihina. Berapa TKW yang sudah babak belur bahkan mati. Masak diam saja.
Betul, kata Ami, sekarang baru tari-tarian, kalau kita diam saja, nanti kepala
kita akan diambil!”
“Jangan melebih-lebihkan begitu.
Lagipula kita kan punya tetangga yang mantunya orang Malaysia. Kalau mereka
dengar, anak kita marah-marah sama Malaysia, bisa-bisa mantunya tersinggung.”
“Memang itu maksud Ami! Makanya dia
latihan pidato keras-keras di rumah. Biar mereka dengar hati kita panas!”
“Tapi nanti kita malah berantem dengan
tetangga.”
“Biarin! Lebih baik berantem sekarang,
daripada nanti kalau sudah dendamnya makin banyak!”
“Kalau begitu namanya tidak bijaksana.”
“Ngapaian bijak, kalau kita
diinjak-injak. Bijak, sopan dan santun itu ada batasnya. Kalau tidak, sama juga
dengan budak. Apa kita ini budak?”
Amat terdiam.
“Sana jemput Ami dan minta maaf!”
Karena Bu Amat begitu serius, Amat
menyerah. Dengan menekan perasaan, dia pinjam sepeda tetangga dan menjemput
Ami.
“Ami, Bapak disuruh minta maaf oleh Ibu
kamu dan harap pulang. Tidak baik anak perawan sebesar kamu nginap di rumah
orang.”
Ami mengangguk.
“Bapak tidap perlu minta maaf.”
“Bapak minta maaf dan pulanglah.”
“Tidak. Bapak tidak usah minta maaf.
Umpama seorang presiden dalam sebuah negara, Bapak tidak boleh cepat marah
kepada negara tetangga, meskipun jelas negara itu sudah mengekspor kejahatan ke
tempat kita. Karena kalau presiden marah, bisa terjadi perang. Tapi harus ada
yang marah, untuk mencegah jangan sampai kejahatan itu berubah menjadi
kebiasaan. Itu sebabnya Ami marah. Meskipun Ami punya banyak teman-teman di
Malaysia yang akan kaget karena Ami marah. Tapi kepentringan Ami tidak ada
artinya dengan kepentingan negara. Jadi Ami harus marah. Bapak memang sudah
sepantasnya bersikap bijak, karena tetangga kita mantunya Malaysia, jadi kita
harus menghormatinya, karena kita adalah bangsa yang santun. Kita bukan bangsa
penjahat!”
Amat tertegun.
“Jadi kamu mengerti, mengapa Bapak
bersikap bijak?”
“Mengerti sekali. Bapak tidak boleh ikut
marah. Nanti kita bisa berkelahi dengan tetangga. Cukup Ami saja yang marah!
Ini masalah strategi!”
Amat manggut-manggut.
“Bagus. Kalau begitu kamu dewasa Ami.
Bapak bangga sekali. Sekarang mari kita pulang.”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena Ami marah. Kalau Ami pulang,
mantu tetangga kita, orang Malaysia itu akan tidak percaya bahwa kelakuan
negaranya sudah membuat harga diri bangsa kita tersimnggung. Ini bukan hanya
masalah tari pendet, bukan hanya masalah orang Bali, tapi harga diri bangsa
Indonesia!”
“Tapi bagaimana kalau dia tidak peduli?”
“Itu dia! Memang mereka tidak pernah
peduli! Mereka selalu menganggap persoalan kita adalah persoalan sepele. Itulah
yang membuat Ami darah tinggi!”kata Ami sambil menutup pintu keras-keras.
Jakarta 23-8-09
“Kebudayaan Jawa adalah kebudayan kasur tua!”
kata Rendra dengan tandas dalam sebuah diskusi di Yoga pada akhir tahun 60-an,
kata seorang budayawan yang diwawancari di televisi itu.
“Banyak orang tersinggung dan kaget. Itu
bukan saja terlalu berani tetapi juga kurangajar. Kebudayaan Jawa yang tinggi,
berciri kontemplasi dan melahirkan monumen yang mencengangkan dunia seperti
Borobudur, Prambananan, buku Nagara Kertagama, Arjuna Wiwaha dan sebagainya
itu, bagaimana mungkin hanya sebuah kasur tua?”
“Burung merak dari Solo yang lahir pada
1935 itu kemudian dianggap sebagai orang gila yang besar mulut. Mentang-mentang
baru pulang dari Amerika, tak seenak perutnya ia bisa menilai jawa yang begitu
dihormati oleh semua orang.”
“Apakah itu yang kemudian menyebabkan
Rendra, penyair Ballada Orang-Orang Tercinta itu kemudian diusir dari Yogya ke
Jakarta? Tidak. Sama sekali tidak. Ia justru mengeluarkan seruan yang mengejek
para seniman yang sudah ramai-ramai hijrah ke Jakarta, mengejar nama dan duit.
Ia berseru, berjanji, mirip sebuah sumpah, ia akan terus bertahan di Yogya.
Menampik budaya kota, hidup dekat dengan lingkunganserta alam. Dan hadir untuk
menunjukkan eksistensi pedalaman.”
‘Tetapi kenapa bidan Bengkel Teater yang
tersohor karena ciptaannya yang bernama teater mini-kata itu, tiba-tiba
kemudian boyongan ke Jakarta. Ia menghuni sebuah kawasan luas di pinggiran kota
Depok. Dalam sebuah wilayah lengkap dengan sawah serta kolam. Bahkan memiliki
sebuah pemakaman keluarga yang juga terbuka bagi para seniman. Di situ
terbaring maestro piñata artistik Rujito dan miskus yang melejit tiba-tiba
menjadi sebuah legenda, si maniak kopi, Si tak gendong-gendong: Mbah Surip
Karena ia mengambil tafsir baru.
Mempertahankan tradisi itu, bukan
kulitnya, tapi isinya. Hidup di kota pun penting, asal jiwanya tetap jiwa yang
alami. Bahkan itu perlu bagi orang kota yang sudah habis-habisan terkena
polusi. Ia ke Jakarta untuk menyelamatkan Jakarta!”
“Mas Willy, begitu panggilan akrabnya,
tidak kemudian menjadi manusia terkutuk yang dikeluarkan oleh orang yang merasa
dirinya orang jawa. Ia bahkan mendapat kemulyaan di malam purnama yang indah,
malam Jum’at, menjelang bulan Ramadhan. Dan kepergiannya dihadiri oleh ribuan
orang yang mengalir memadati seluruh pelataran kawasan Bengkel Teater sehingga
membuat jalanan pun macat.”
“Kenapa? Karena ternyata di balik
kata-katanya yang pedas, yang membuat telinga merah, di balik apa yang
dimaksudkannya dengan kebudayaan kasur tua, tersimpan niat yang mulia. Dia
ingin membebaskan tradisi dari virus-virus jahat, yang dalam perjalanannya
menembus zaman sudah dititipkan oleh kekuasaan dan tangan-tangan jahil. Ia
ingin membebaskan tradisi dari asesoris dan muatan temporer yang membuat
tradisi menjadi beban berat dan menyiksa bahkan melukai para pewaris. Ia ingin
mencuci kembali tradisi, sehingga esensinya, rohnya
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”
yang bernama kearifan lokal bersinar kembali dengan gemilang!”
“Si Burung Meraklah yang kemudian
memberi tafsir baru terhadap apa yang disebut nrimo, pasrah, gotong-royong dan
sebagainya yang sudah diselewengkan menjadi tempat menyembunyikan kemalasan
alias didaur-ulang. Dengan memberikan tafsir baru, ia membuat seluruh
kebijakan, ilmu hidup yang diturunkan oleh tradisi Jawa menjadi dinamis, alias
tidak melempem. Ia membuat tradisi Jawa tidak lagi kolot, melempem, tetapi
bernas, aktual dan menyelamatkan para pewarisnya dari benturan-benturan zaman.”
Amat terkejut. Ia memandang orang yang
bicara di di layer kaca itu dengan mata tak berkedip. Tak sabar. Ia kemudian
mencecer.
“Maksud Bapak, mas Willy sudah membuat
kebudayaan jawa kembali pada kearifan lokalnya?”
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.
“Persis!”
“Almarhum membuat kebudyaan jawa menjadi dinamis?”
“Betul Pak Amat.”
“Seperti desa-kala-patra bagi orang Bali?”
“Itu maksud saya! Seratus untuk pak Amat!”
Amat terpekik.
“Yes!”
Tak puas hanya memekik, Amt kemudian menggebrak meja.
“Betul! Makanya dia dinamakan Burung Merak!”
Bu Amat bergegas datang.
“Sabar Pak, sabar. Telat satu menit saja
sudah main pukul meja!” kata Bu Amat meletakkan kopi yang dipesan suaminya.
“Jangan suka marah, main drama seperti pemain-pemain sioentron itu. Yang
wajar-wajar saja.”
Amat memegang tangan istrinya yang mau
kembali ke dapur, sambil menunjuk ke televisi.
“Lihat Bu, begitu banyak orang datang
dalam pemakaman mas Rendra. Dia itu pantas mendapat bintang Maha Putra!”
“Betul, dengan semua perbuatan, tindakan
serta pemikirannya, Mas Willy adalah orang yang mengajarkan kepada kita untuk
bersikap berani melawan, “kara wajah di televisi itu lagi.melanjutkan, “dia
memberikan toladan untuk berani mengemukakan pendapat, bersikap kritis kepada
penguasa yang sudha bertindak sewenang-wenang, karena tidak mengoyomi rakyat
dan memikirkan kesejahteraan bangsa, tetapi menumpuk keuntungan untuk dirinya
sendiri. Mas Rendra mengajak kita untuk berani berkata jujur. Ia seorang pahlawan!”
Bu Amat nyeletuk.
“Kalau dia memang pahlawan, kenapa tidak
dimakamkan di makam pahlawan?”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”
“Makam Pahlawan? Dia tidak akan mau!”
“Kenapa?”
“Karena dia tidak mau terikat oleh kehormatan. Dia pasti lebih senang lepas-bebas di dalam masyarakat, sehingga bisa bergaul dengan semua orang.”
“Itu kan kata Bapak!”
Bu Amat kemudian ngeloyor kembali ke
dapur. Amat tercengang.
“Ya itu kataku. Itu memang kataku. Aku
berkata untuk almarhum, sebab dia sudah tidak mampu lagi berkata. Apa salahnya
kita menafsirkan apa yang akan dikatakannya, setelah orangnya tidak ada? Apa
salahnya akuyang akan mengatakan apa yang hendak dikatakan oleh Michael
Jackson, Mbah Surip dan Mas Rendra. Kita harus mengungkapkan apa yang tidak
bisa lagi dikatakannya. Betul tidak?’ tanya Amat kemudian kepada Ami ketika Ami
kembali dari kampus.
Ami mengangguk acuh tak acuh.
Ami mengangguk acuh tak acuh.
“Itu namanya penafsiran, Pak.”
“Memang. Kita kan harus menafsirkan apa
yang sudah dilakukan dan diperbuat oleh almarhum, karena almarhum sendiri sudah
tidak sanggup berkata? Orang-orang yang berbicara di televisi itu semua begitu,
ketika mengomentari Mbah Surip dan mas Willy. Kita harus memberikan tafsir!
Masak tidak boleh?”
“Siapa yang melarang?”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”
“Ibumu!”
“Apa salah Ibu melarang?”
“Karena Bapakmu tidak mau ada orang berkata lain!” damprat Bu Amat yang muncul kembali sambil membawa pisang goreng.
“Katanya Mas Rendra yang meninggal itu seorang Empu yang mengajarkan murid-muridnya untuk memberi tafsir baru. Kenapa kalau Ibu memberi tafsir baru pada tafsirnya, dilarang?”
“Yes!” teriak Ami tiba-tiba.
“Itu artinya dia orang besar. Orang besar kalau meninggal selalu membuat kita yang ditinggalkannya berpikir. Bertengkar juga berpikir. Jadi Jacko, Mbah Surip dan Mas Rendra itu memang orang hebat. Titik. Ayo sekarang ganti channel tv-nya. Itu ada tembak-menembak dengan teroris yang diduga Nurdin Top! Bukan maunya orang besar saja yang harus diperhatikan, mauku juga!”
Jakarta 7 Agustus
Giliran Amat menangis di depan televisi.
Ia meratapi korban terorisme yang sudah meledakkan bom di hotel JW Marriott dan
Ritz Carlton Hotel, di Jakarta. Pagi 17 Juli yang tenang dan indah sejak
berlangsungnya Pemilu 09 yang damai dan mendapat banyak pujian dari
mancanegara, kontan buyar.
Pasar modal tertegun walau pun tak
sampai guncang. Presiden SBY yang memberikan pidatonya pun sempat terdiam,
bagai menahan kepedihan untuk tidak menangis, mengingat ekonomi yang sudah
membaik dan kedamaian yang mulai tumbuh menjadi rontok. Bahkan klab sepakbola
Manchester United yang direncanakan datang hari Sabtu dan menginap di hotel
yang terkena bom, membatalkan laganya dengan PSSI All Star.
“Aku heran masih ada saja orang yang
menginginkan negeri kita ini kacau,”kata Amat kepada para tetangga yang bergunjing
di tepi jalan.”Aku heran ada orang yang tega membunuh manusia lain dengan tanpa
peduli. Bukan hanya sembilan nyawa yang sudah jadi korban, seperti yang aku
dengar di televisi, tetapi ribuan bahkan jutaan. Orang-orang itu punya anak,
istri, keluarga, famili dan negara. Aku yang jauh dari Jakarta dan tidak kenal
kepada korban, merasa ikut kehilangan, karena kematian itu berarti juga
kematian perdamaian, ancaman langsung kepada nyawa kita!”
Para tetangga manggut-manggut. Seorang
pemuda menjawab.
“Itulah politik, Pak Amat.”
“Politik?”
“Ya. Apa yang terjadi tidak bisa dilihat
dari apa yang kejadian di depam mata kita saja, Pak Amat. Harus dihubungkan
dengan sebab musababnya yang paling jauh dan tujuannya yang paling jauh. Dan
mungkin sekali bagi orang yang kurang pengetahuan seperti kita, hubungan itu
sama sekali tidak ada. Bukan karena tak ada, tapi karena kita sudah tidak mampu
merasakan, karena tidak melihatnya.”
Amat terkejut.
“Maksudnya?”
“Ya sudah saya katakana tadi, ini
politik.”
Amat penasaran. Dia mulai marah.
“Artinya apa kalau itu politik?”
“Tidak perlu ada artinya. Ini hanya
untuk mengingatkan orang untuk kembali kepada apa yang sudah dilupakan!”
“Apa yang sudah dilupakan?”
“Keadilan dan kebenaran.”
“Keadilan siapa? Kebenaran siapa?”
“Keadilan dan kebenaran mereka yang
dilupakan!”
“Dengan cara menempuh jalan yang tidak
adil dan tidak benar?”
“Bukan jalannya yang harus dinilai, tapi
tujuannya Pak Amat!”
“Itu namanya menghalalkan segala cara!”
“Itu kan kata Pak Amat.”
“Jadi Anda setuju hotel Marriot dan yang
satu lagi itu di bom? Anda sutuju Bali dua kali dibom?”
Mata Amat berapi-api. Orang itu tidak
menjawab. Dia buru-buru pergi.
“Teroris!” umpat Amat. “Anarkhis!”
Tangan Bu Amat lalu membelai pundak
Amat.
“Sudah Pak, jangan terlalu dijiwai nanti
bludreknya kumat!”
Amat menarik nafas panjang.
“Aku heran, kenapa orang bisa dicuci
otaknya sampai segalanya menjadi terbalik-balik. Masak dia menyuruh kita
melupakan bom yang membunuh orang ini, lalu melihat sebab awalnya yang tidak
kita tahu, lalu memikirkan tujuan akhirnya yang kita juga tidak tahu.
Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu!”
“Ya namanya juga otaknya sudah dicuci!”
“Gudang dicuci memang bisa kosong.
Pakaian dicuci pemutih juga bisa kehilangan warna. Tapi masak manusia yang
sudah diisi oleh pendidikan, susila, budi pekerti bahkan agama, bisa dicuci?
Sebersih-bersihnya dicuci pasti nuraninya masih ada! Kecuali memang orangnya
sakit!”
“Ya itu dia. Makanya mereka milih-milih
siapa yang harus dicuci. Tak semua otak bisa dicuci!”
“Tapi ternyata sekarang semua orang bisa
dicuci oltaknya, Bu! Bukan hanya yang buta huruf saja, yang doktor pun bisa
dicuci. Jadi kita memang sudah kehilangan nurani. Kita semua sudah memasuki
zaman kaliyuga! Kita semua sudah edhan!”
Bu Amat menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia memanggil Ami.
“Coba tenangkan bapakmu Ami, pikirannya
sudah ngelantur lagi.”
Ami melirik bapaknya. Mata Amat masih
terus tertancap ke layar kaca mengikuti laporn sekitar Bom Marriott 2.
Kadang-kadang dia ngomong sendiri.
“Ayolah Ami, jangan biarkan bapakmu
begitu!”
“Habis Ami harus ngapain?”
“Ya ajak bapakmu jangan melihat segala
sesuatu dari buruknya saja, ambil segi baiknya.”
Ami terperanjat.
“Segi baiknya? Apa ada segi baiknya dari
tindakan terorisme membom hotel dan membunuh orang yang tidak bersalah? Ibu kok
jadi ikut-ikutan jadi korban cuci otak?!”
Sebaliknya dari menemani bapaknya, Ami
lalu masuk ke kamar mandi dan men yanyikan lagu Slank dengan seenaknya
“Inikah demokrasi, setiap orang boleh
berbuat seenak perut sendiri …. . .. “
Bu Amat tertegun.
Waktu Bom Bali yang pertama dia sangat
terguncang. Takut, ngeri, merasa terancam dan berhari-hari tidak enak makan.
Pada kejadian Bom Bali Kedua, ia memang masih tertekan, tapi segalanya kemudian
menjadi biasa. Setelah itu, mendengar cerita bom dan terorisme di manap-mana,
ia sama sekali tenang. Seakan-akan semuanya itu memang bagian dari asesoris
kehidupan politik.
Ketika muncul berita Bom Marriot 2, ia
sempat terdiam sebentar. Matanya menancap ke televisi. Tapi kemudian ia tidak
merasakan apa-apa lagi, karena banyak hal lain yang masih harus diperhatikan.
Kematian si Raja Pop Michael Jackson masih hangat. Banyak peristiwa aneh di
sekitar Pemilu 09 yang menyangkut para caleg gagal, masih seru. Perhatiannya
pada Bom Marriot 2 memang jadi kurang – untuk tidak mengatakan sama sekali
tidak ada.
Ia tidak tahu mengapa ia menjadi seperti
beku. Mungkin karena begitu banyak yang sudah terjadi sejak menjelang
reformasi. Penculikan. Orang hilang. Bencana alam. Korupsi. Manusia makan
mayat. Ibu membunuh anaknya. Anak dijual oleh ibunya. Teror dan bom di
mana-mana.
Dulu, suami atau anaknya sakit saja ia
sudah menangis. Mendengar orang menyanyikan Indonesia Raya di saat pengibaran
bendera pada upacara peringatan 17 Agustus, ia bisa mengucurkan air mata.
“Hidup semakin keras, manusia menjadi
semakin tabah. Kalau tidak begitu, kita semua akan kalah,”bisik Bu Amat
menjawab pertanyaannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar Amat mengumpat di
depan televisi.
“Kurang ajar! Bangsat!!”
Sebuah pikiran mendadak menukik ke dalam
kepala Bu Amat. Ia terkejut dan jadi gemetar. Benarkah ia menjadi lebih baik?
Apa betul dengan menjadi lebih keras orang bertambah kuat? Apakah air mata,
tangis dan haru itu tanda kelemahan? Benarkah berhenti menangis. membutakan
mata kepada apa yang ada di sekeliling adalah kiat untuk hidup selamat.
Bu Amat terpesona. Ia cepat-cepat
menilai kembali dirinya. Melihat di mana ia sedang berdiri. Lalu ia melihat
dirinya di atas sebuah bukit. Di puncak bukit yang bergetar. Sebentar lagi ia
akan melayang turun dan terhempas ke lembah yang hgelap di sana.
“Kurang ajar! Bangsat!” terdegar umpat
Amat lebih keras.
Bu Amat tersentak.
“Aduh, jangan -jangan aku sendiri yang
sudah kena cuci otak, karena menganggap semua bom-bom itu sudah biasa,”bisik Bu
Amat dengan terkejut.”Jangan-jangan aku yang sudah dimatikan rasa oleh cuci
otak itu!”
Perlahan-lahan Bu Amat mendekati
suaminya yang masih terus melotot di depan televisi. Ia lupakan dulu curhat La
Toya, kakak perempuan Michael Jackson yang merasa yakin adiknya mati dibunuh.
Ia lupakan dulu Bom Bali 1 dan 2 yang menelan ratusan korban. Ia lupakan
tsunami yang sudah melalap lebih dari seratus ribu manusia. Ia hanya memandang
ke satu titik. Layar kaca. Bom Marriott 2.
Bu Amat melihat darah. Anggota badan
manusia berserakan. Kepala, tangan, kaki, semua terpisah dari tubuhnya. Isi
perut terburai. Memang bukan 200 atau seratus ribu, tapi hanya sembilan. Tapi
itu darah dan isi perut yang sesungguhnya.
Ia merasa darah dan isi perutnya sendiri
yang terburai. Kepala, tangan dan kakinya yang terputus dari badan. Begitu saja
rasa ngeri, takut dan putus asa setrentak menggebrak dan mematahkan seluruh
benteng pertahanan yang sudah membuatnya beku.
Tak kuasa lagi menahan diri, Bu Amat
menjerit.
“Tolooooongggggggggggg!”
Jakarta 17 Juli 09
Menjelang jam 08, bom meledak di Hotel
Marriott dan Ritz Carlton Hotel.
Jadi begitulah. RUU PORNOGRAPHY lolos di
DPR. Banyak orang bersedih.Tetapi yang lain berpesta, seakan-akan segala
kebejatan berhasildiberantas. Di rumah, anakku Ami nampak kesakitan. Ia bahkan
tak maupergi ke kampus padahal ada tentamen.
Aku terpaksa menghibur.
“Beginilah resikonya hidup dalam alam
demokrasi Ami. Yang menangadalah yang lebih banyak, meskipun belum tentu lebih
bener. Jaditabahlah hadapi kenyataan.”
Ami mengangguk. Tapi wajahnya tambah
berat.
“Sudah Ami, terima saja. Orang yang
menang adalah orang yang beranimenerima kenyataan. Kalau kamu bisa menerima
kenyataan kalah ini, kamubukan pihak yang kalah. Sedangkan orang yang menang
suara, padahalbelum tentu mereka benar, apabila tak belajar dari yang kalah,
kenapakamu dan teman-teman kamu begitu menentang RUU itu, mereka adalahorang
yang kalah. Karena mereka hanya memikirkan kemenangan, bukanmemikirkan
keselamatan negeri dan seluruh rakyatnya yang 220 juta jiwadengan panutan
budaya yang berbeda-beda.”
Kepala Ami semakin berat. Bahkan matanya
nampak berkaca-kaca. Lalu airmatanya jatuh berderai. Aku jadi cemas.
“Sudah Ami. Kalau begini caranya kamu
menerima kekalahan, sebentarlagi bukan air mata kamu saja yang jatuh tetapi
juga kepala kamu. Dankalau sampai kepala kamu biarkan jatuh, artinya kamu tidak
hidup lagidengan otak tetapi rasa semata-mata. Perasaan itu baik, memang
baik.Rasalah yeng menyelaraskan kita sehingga kita bisa membangun
harmoni.Tetapi keselarasan itu sendiri perlu laras. Kalau tidak, rasa
kamusendiri juga tidak laras.
Kamu memerlukan kepalamu untuk
mengarahkan,mengerem, meredam perasaan agar jangan berkelebihan. Karena
kehidupanini seperti gado-gado yang penuh dengan berbagai bumbu dengan rasayang
berbeda-beda. Kamu harus mencampur dengan cermat dan menakarnyaawas. Kalau
tidak hidupmu akan menjadi pedes, asin, pahit ataukemanisan. Manis itu memang
enak, tapi kalau berlebihan akan membuatmuak. Sudah cukup! Seratus butir air
mata sudah lebih dari cukup untukmeratapi kemenangan RUU Porno ini, jangan
ditambah-tambah lagi!”
Tapi
Ami justru menangis semakin pilu. Ia tersedu-sedu. Air matanyatidak lagi hanya
menetes, tetapi menyembur. Seluruh pipinya banjir.Bukan hanya
itu. Ingusnya ikut berleleran.
Aku panik. Aku menarik handuk yang
membelit di kepala dan meletakkandi tangan Ami. Dengan handuk itu Ami mengusap
air matanya. Tetapisemakin diusap, air mata itu semakin membanjir.
“Waduh, kalau begini caranya menghadapi
kekalahan kamu akan semakinkalah dan mereka yang sudah menang akan semakin
menang. Jadisebenarnya bukan kebenaran kamu di dalam menentang RUU itu yang
kalah,tetapi kamu sendiri. Kamu sendiri sekarang yang membunuh sendirikebenaran
yang kamu perjuangkan itu. Karena walau pun sekarangdinyatakan kalah,
sesungguhnya kebenaran yang kamu perjuangkan tidaksalah.
Karena tanpa ada RUU Pornography pun
sebenarnya kita sudah bisamemberantas pornography, asal saja kita mau bertindak
dan aparatpelaksana yang bertugas untuk itu rajin, tegas, desiplin dan
tidakangin-anginan atau kucing-kucingan melakukannya, karena Undang UndangHukum
Pidana, Undang-Undang Popok Pers, Undang-Undang Penyiaran sudahmemberikan kita
hak bahkan kewajiban untuk memberantas kecabulan yangditontonkan arau
diperjualbelikan di ruang publik. Jadi Ami, kamusebenarnya tidak kalah, kamu
hanya ditunda menang, tahu!”
Handuk kecil itu tak mampu lagi menahan
kucuran airdari mata Ami. Iaterpaksa memerasnya seperti mengeringkan cucian.
Aku terkejut.
“Aduh Ami, ternyata kamu tidak bisa
diajak berunding. Kemenangan itutidak harus kelihatan. Kemenangan yang
sebenarnya nampak sebagaikekalahan, sehingga orang yang sebenarnya kalah tidak
akan marah,tetapi malah gembira dan merasa bahwa sebenarnya merekalah yang
menangpadahal mereka itulah pecundangnya. Bayangkan! Bayangkan!”Ami menutup
mukanya dengan handuk. Aku rengutkan handuk itu.
“Kamu ini sedang meratapi kekalahan atau
sedang menikmati kekalahan?Ayo lihat kenyataan. Dengerin! Lihat! Bagaimana mau
memberantaskecabulan kalau memberikan definisi saja gagap. Undang-undang
iniseperti orang memberikan pisau tumpul kepada seorang anak yang
disuruhmembersihkan lemak dari daging-dagingnya. Dia tidak akan mengiris,
diaakan mencocok-cocok, lalu membanting, akhirnya dia tidak bisa mengiristetapi
mencacah dan kemudian menggigit sampai daging itu remuk, karenamemang itulah
tujuannya.
Hancur luluh jadi satu! Mono kultur!
Kalaudaging itu sudah remuk akan mudah untuk digiling sebab dia memangbukannya
mau mengiris daging tapi membuat bakso. Makanya jangandilawan sekarang nanti
dia tambah buas. Bisa-bisa kamu yang dibakso.Biarkan saja, karena pisau itu
sudah di tangannya. Baru kalau diagagal nanti, kita beritahu pisaunya yang
salah. Lagi pula lemak yangdipisahkan itu bukan mau dibuang tetapi di tempatkan
pada tempat yangsemestinya dan dibuat supaya berguna. Karena tidak semua
kolesterolitu jahat. Mengerti?”
Ami mengangguk.
“Bagus, kalau kamu mulai mengerti
sekarang, dengar. Di balik setiapkegagalan selalu ada janji. Dengan kekalahan
ini kamu akan belajar,tidak cukup suara keras, tidak cukup mata melotot, tetapi
dalamberjuang harus memakai taktik dan strategi. Mengalah juga adalahsebuah
taktik dan sebuah strategi. Jadi terimalah kekalahan inisebagai awal kemenangan
yang baru.”
Ami memandangku seperti bertanya.
“O caranya? Caranya bagaimana mengubah
kekalahan dengan kemenangan?Gampang. Ikutlah rayakan kemenangan mereka ini
dengan berteriak lebihkeras. Ganyang kecabulan! Seret wanita-wanita yang
bergoyangmempertontonkan tubuhnya lempar ke penjara. Dera mereka yang
menjualkecabulan. Masuki rumah penduduk semua, bongkar laci dan almari,bahkan
singkap sprei dan kasurnya, jangan-jangan mereka menyimpanpornography.
Tak hanya itu. Selidiki apa isi kepala
orang. Tidak hanyayang kelihatan di ruang publik, yang tersimpan dalam rumah
pribadibahkan dalam ruang pikiran pun harus diusut. Kalau ada yang
cabul,setidak-tidaknya kita anggap cabul, seret, denda milyardan danjebloskan
ke penjara. Dan kalau ternyata orangnya adalah pemimpin,apalagi pemuka,
hukumannya sepuluh kali lipat!”Ami tiba-tiba berhenti menangis.
“Jadi dengan kata lain, Ami sayang, kita
kacaukan kemenangan merekaAmi. Seperti yang mereka usulkan. Sebagai anggota
masyarakat kitaboleh ikut campur berpartisipasi memberantas kebaculan. Dan
karenabatasan cabul kebetulan kabur, spiel dan flewksibel yang kita
sebutkecabulan itu bukan saja ketelanjangan badan, juga ketelanjanganrohani.
Kalau
ada orang berbuat semena-mena hanya untuk kepentinganpribadi, golongan dan
kaumnya sendiri tanpa mempedulikan kebhinekaanseperti yang dipesankan oleh pita
di kaki Burung Garuda Lambang negaraPanca Sila, maka orang itu adalah tokoh
pornograpghy yang juga bisadiseret, didenda dan dihukum. Mari kita balikkan
arah RUU Pornographyini bukan untuk menentang kebhinekaan tetapi merayakan kebhinekaan.Jadi kita dukung RUU Pornography!”
Tiba-tiba
saja aku tertawa puas, seperti menemukan akhir yang indahdari pencarianku yang
sudah begitu panjang. Ya Tuhan aku temukan sudutterang di dalam kegelapan ini.
Kaum perempuan yangb selama ini sudahjadi korban dan bulan-bulanan mesti m
encari sendiri jalan terangnya.Dan aku dapatkan sekarang! Aku habiskan semua semburan
ketawaku.
Ajaib,
mata Ami pun berhenti meneteskan air. Mukanya mulai berseri.Lalu dia mengangkat tangan mengajakku tos. Dengan gembira
akumenyambut hangat kebangkitan anakku tepat pada peringatan 80 tahunSumpah
pemuda dan 100 tahun kebangkitan nasional.
Terimakasih Mama, bisik Ami sembari
kemudian memeluk dan menciumku.
“Terimakasih, Mama sudah membantu
melewatkan sakit perut Ami karenadatang bulan.”
Gubernur marah besar. Panitia pemilihan
Ratu Kecantikan 2008 dipanggil. Mereka dicecer dengan berbagai pertanyaan. Mengapa
dari 9 wanita tercantik pilihan masyarakat tidak seorang pun adalah putri
daerah?
“Kalau begitu apa gunanya ada pemilihan
Ratu Kebaya, Ratu Dangdut, Ratu Kaca Mata, Ratu Mercy, Kontes Mirip Bintang,
Miss ini-itu yang setiap bulan diadakan di mall-mall sampai salon-salon
kecantikan kagetan kayak jamur di musim hujan? Apa betul putri daerah kita
tidak ada yang cantik. Berarti kebanyakan mereka semua akan jadi perawan tua,
karena pria kuta lebih mengagumi putri-putri dari luar sana? Ini tragedi!”
“Tapi ini kan hanya kegiatan hura-hura
yang informal Pak?”
“Memang! Tapi masak bintang-bintang
Hollywood itu yang dibilang cantik. Itu kan karena kalian hanya lihat di film.
Film itu sudah penuh dengan tipuan gambar. Baik kameranya, tata lampunya dan
sudut pandangnya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga kerbau pun kalau
dirancang seperti itu akan keliahatan aduhai. Coba kalau kalian lihat
kenyataannya. Tulang-tulangnya yang besar, kakinya yang berbulu, kulitnya yang
sepereti mayat dan bau kejunya yang mana tahan, kalian akan menyesal sudah
sesat memilih idola. Realistis sedikit! Jangan terus bermimpi! Putri-putri
daerah kita semuanya cantik. Hanya karena kalian lihat setiap hari saja,
kecantikannya kalian lupakan. Seperti gajah yang tak nampak karena adanya di
pelupuk mata. Kalian harus belajar menghargai milik sendiri!”
Panitia tidak berani menjawab. Gubernur
sedang asyik dengan kemarahannya. Kalau dipotong bisa parah.
“Coba apa kreteria kalian menentukan
kecantikan sampai bintang-bintang film yang doyan gonta-ganti pasangan itu
dianggap yang paling cantik. Apa kecantikan wajah itu diukur dari panjang
hidung atau keberaniannya memperlihatkan badan sehingga mengundang nafsu.
Bagaimana dengan kecantikan kepribadian dan moral serta kecerdasan. Apa itu
bukan bagian dari kreteria yang menetapkan seseorang itu cantik?”
“Kami tidak memberikan kreteria, Pak.
Itu terserah mereka yang mengirimkan jawaban.”
“Jadi ngawur?”
“Bukan Pak. Kami hanya tidak memberikan
batasan apa itu kecantikan. Karena ukuran kecantikan itu kan subyektif, jadi
kami serahkan pada para pembaca saja.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab!”
Panitia bingung.
“Maksud Bapak, kami harus
bertanggungjawab?”
“Ya dong! Sebagai warganegara yang baik,
saudara harus bisa mempertanggungjawabkan kontes yang saudara adakan!”
“Kalau itu sudah, Pak. Kami sudah
umumkan jumlah suara yang masuk. Urutannya jelas. Kami akan segera memilih
pemenang di antara pemilih dengan cara memilih kartu pos mereka pada malam
selamatan ulang tahun media kami.”
“Bagaimana kalau satu orang mengirim
1000 kartu pos?”
“Boleh saja, Pak, asal mereka menempel
juga stiker yang ada di majalah kami.”
“Kalau begitu, bisa saja 9 perempuan
tercantik itu bukan tercantik berdasarkan pilihan rakyat kita semua, tapi
pilihan beberapa orang yang mau kirim kartu pos dan mampu membeli majalah
Anda?”
“Memang begitu, Pak!”
“Umumkan dong!”
“Untuk apa Pak?”
“Ya itu tanggungjawab saudara sebagai
penyelenggara!”
“Tidak perlu, Pak, sebab mereka sudah
tahu.”
“Tidak bisa! Saudara harus mengumumkan
bahwa 9 wanita tercantik ini bukan pilhan kita, tapi pilihan yang mengirim
jawaban saja. Dan karena yang mengirim jawaban hanya beberapa ribu, tidak
mencerminkan jutaan warga kita, berarti kemenangan mereka palsu. Mereka bukan 9
wanita tercantik.”
“Memang bukan, Pak!”
“Kalau begitu umumkan dong!”
Pertemuan selesai. Gubernur tak ada
waktu lagi untuk berdebat, sebab harus terbang ke luar negeri menghadiri sebuah
Festival yang diselenggarakan oleh negara sahabat. Para panitia segera
berunding. Kemudian pihak perusahaan mendesak agar himbauan Gubernur
dilaksanakan, karena menyangkut keselamatan majalah.
Setelah mempertimbangkan masak-masak,
panitia mengambil jalan tengah. Keputusan pemenang dibatalkan, karena dianggap
ada indikasi sudah terjadi kekisruhan akibat kurangnya kriteria. Pemilihan akan
akan diulang. Sebagai kompensasi, hadiah yang rencananya diberikan kepada para
pemilih, dilipatgandakan..
Ada protes, tetapi tidak terlalu
berarti. Lomba pun dimulai kembali. Pilihan dibatasi sebatas orang-orang cantik
di dalam negeri. Kriterianya pun dicantumkan dengan jelas. Bukan hanya
kecantikan phisik yang terpakai, tetapi juga kecantikan kepribadian. Beberapa
kreteria juga menggiring calon pemilih untuk memilih ratu-ratu hasil pemilihan
berbagai kontes di daerah.
Hasilnya amat mengagetkan. Dari sembilan
wanita tercantik di dalam negeri, ternyata lima di antaranya adalah wadam.
Memang cantik tetapi sebenarnya lelaki Guberbur yang baru pulang dari luar
negeri terkejut. Di bandara, ia sudah ngomel di depan para wartawan, karena
merasa tidak puas.
Panitia kembali diundang berdialog.
“Kenapa saudara sampai membiarkan 5
wanita adam masuk ke dalam 9 wanita cantik di negeri ini?”
Panita ketawa.
“Jangan ketawa ini serius!’
“Peserta mungkin mulai sadar bahwa
pemilihan yang kami lakukan adalah pemilihan main-main, Pak!”
“Tidak ini tidak main-main. Ini cerminan
dari perasan mereka yang sejujurnya.”
“Kalau itu betul, Pak. Karena tidak
formal dan tidak ada sanksi apa-apa, para pemilih itu mengungkapkan apa adanya.
Saya kira karena kriterianya bukan hanya elemen phisik tetapi juga kepribadian,
pilihan mreka kami anggap wajar, Pak. Mereka yang terpilih memang sangat
professional.”
“Profesional apaan! Itu pilihan yang
salah. Itu cerminan bahwa masyarakat kita sedang sakit!”
Panitia mengangguk.
“Kok memngangguk?”
“Saya kira itu ada benarnya, masyarakat
kita sedang sakit!”
“Tidak! Masyarakat kita masyarakat yang
sehat, bukan masyarakat yang sakit. Saudara yang sudah membuat mereka sakit.
Saya minta keputusan ini dicabut. Tidak boleh ada wadam yang dipuji sebagai 9
wanita cantik. Ini salah kaprah!”
Panita bengong.
“Maksud Bapak kami harus mengulangi
pemilihan ini sekali lagi?”
“Tidak usah! Tapi ganti pemenangnya
dengan ini!”
Gubernut mengeluarkan secarik kertas
dari kantungya.
“Cabut nama-nama itu dan gantikan dengan
nama-nama ini! Kita bukan masyarakat yang sakit!”
Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa
mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar
di dalam lomba lukis internasional, peserta yang mewakili daerahnya
dimenangkan.
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu
sangat berbakat.”katanya memujikan, “keluarganya memang turun-temurun adalah
pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah pelukis kerajaan yang
melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja sebagai opas di
kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang,
seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami
musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal
politik daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam
kebutaan, tbc, mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia
yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama, memahami amanat ini. Ini
adalah perjuangan hak azasi yang suci.”
Saya langsung pasang kuda-kuda.
“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama
sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi
berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”
“Tapi bukankah karya yang bagus itu
adalah karya yang membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”
“Betul. Tapi meskipun membela
kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang
lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap tidak
akan bisa menang.”
Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak
menjanjikan apa-apa?”
“Sama sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong
yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi
entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah saya beku.
“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh
menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung menguangkannya
kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang
membuat syok.
“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke
bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau
Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada kami. Zaman
sekarang memang banyak penipuan bank”
Saya memang tidak percaya. Tapi saya
tidak ingin memperlihatkannya.
“Anda tidak percaya kepada kami?”
“Bukan begitu.”
“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka
kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu? Berapa yang Anda mau?”
Saya tak menjawab.
“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti
sudah menebak pikiran saya.
“Kita transparan saja.”
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia
mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
“Kami tidak siap dengan uang tunai
sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan kami
pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini sebagai tanda jadi,
untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”
Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada
waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK,
lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun perasaan
ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.
“Silakan.”
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang
paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu
sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam penolakan. Dia
merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.
“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda,
tapi kami memang tidak biasa membawa uang tunai. Kalau ini kurang, sore ini
juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda tangan saja sebagai
bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya hubungkan
sekarang.”
Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan
menekan nomor-nomor sebelum saya sempat mencegah.
“Hallo, hallo …… .”
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi
orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan.
Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari dalam. Dia memeluk
saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu mengubah
tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang menggeletak di
atas meja.
“Ade, jangan!”
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
“Adeee jangan!”
Saya bangkit lalu mengejar anak saya
yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan itu.. Merasa dikejar anak saya
berlari. menyelamatkan diri.
“Ade jangan!”
Anak saya terus kabur melewati rumah
tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya berkejar-kejaran dengan anak.
Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.
“Ade jangan itu punya Oom!”
Terlambat. Anak saya melemparkan kedua
amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya. Ketika saya tangkap, dia diam saja.
Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia marah, karena bapaknya
sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud
menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan belum
berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental.
Baik menerima mau pun menolaknya.
Kedua amplop itu langsung tenggelam.
Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan saya rontok. Dengan
menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam. Dengan
kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.
Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya.
Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam yang sering dipakai tempat buang
hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya berenang. Bukan hanya
berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli ada bangkai
ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.
Dengan
berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya
sudah makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap
lekuk dasar kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan
kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang
tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak
memanggil baru saya berhenti.
“Bang! Tamunya mau pulang!”
Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari
kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala saya ada tahi. Orang-orang melihat
kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya bengong. Tapi saya
tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.
“Eling Dik, eling,” kata seorang
tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.
“Abang kenapa sih?” tanya istri saya
galak dan penuh malu.
Saya tidak berani menjawab terus-terang.
Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua amplop uang, semuanya akan terjun
seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan. Kalau tidak? Mereka
yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk menghindarkan kemalangan yang
lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi
tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama sekali. Seakan-akan ia memang tidak
pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah muncul lagi.
Saya termenung. Apa pun yang saya
lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya
sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang
pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat sedang
senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung
ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan kenapa saya terlalu lama bego.
Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya keinginan menerima. Aduh
malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki nomplok. Orang kecil
memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah sebagai suap.
Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya. Sementara
pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.
“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan
madi dulu, bau!” bentak istri saya.
Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar
mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan, baru saya sadari betapa kotor dan
busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut tubuh dengan sabun, tapi
bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.
“Cepat mandinya, bungkusannya sudah
ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan
menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
“Mana?”
Seorang anak tetangga, teman main anak
saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia
nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya
strap.
“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua
amplop itu, sambil kemudian memberikan uang untuk persen.
“Limapuluh ribu?” teriak istri saya
memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan
menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang
bener aja!”
“Tapi .. .”
“Ah sudah! Tidak mendidik!”
Saya tidak berdebat lagi, karena anak
itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia melonjak dan berlari keluar
seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan chiki-chiki
sampah yang membuat usus bolong..
Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar
mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah dan kotorannya. Untung amplopnya
kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air. Uang tidak akan turun
harganya hanya karena belepotan kotoran.
“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.
Saya cepat-cepat menghindar sambil
menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia tahu itu uang, ide-ide
busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya akan masuk
penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki
sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek
hidup dalam kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih
baik terutama setelah Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa
saya berikan. Baginya pasti tidak ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa
depan anaknya cerah.
Saya naik ke atap rumah untuk menjemur
amplop itu supaya benar-benar kering. Saya tunggu di sana dengan menahan panas
matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya. Keputusan sudah diambil,
saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau orang itu datang
lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima. Tidak,
saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.
Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu
tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan
yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat mengejutkan
pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut
memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu
memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi ketiga masih jauh di
bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik oleh
masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah
menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan
menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih,
tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di
depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah masa depan
ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu
menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau
tak mau saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka
ternyata harus diakui memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah
bersikap menolak.
Sayang sekali roda kehidupan yang
membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai menang. Memasuki bulan kedua,
ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran saya bergeser. Suap
adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu. Orang
juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah
semua juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan.
Keputusan kami yang diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat.
Orang tidak berhak menuduh saya atau kami disuap hanya karena kebetulan
kemenangannya sama dengan yang dikehendaki penyuap itu. Maksud saya orang yang
mencoba menyuap itu.
Pada bulan ketiga, saya capek menunggu.
Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan. Kenapa saya mesti menolak nasib baik
yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi tidur dengan saya. Anak
saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar sehingga
lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.
Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan
meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan nekat. Apa boleh buat biarlah saya
masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan suap. Tapi sedikitnya saya
sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki rumah dan membeli
motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya
kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun
dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun
menikmati manis suapnya.
“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu
yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu sambil menunjukkan kedua amplop
uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini adalah hak kita, karena
sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita. Masak hanya
tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi
sampai mati. Ini!”
Saya terimakan kedua amplop itu ke
tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya nampak menahan diri. Dia
tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
“Ayo dibuka saja!”
Istri saya tiba-tiba menunduk dan
menangis.
“Lho kok malah nangis.”
“Abang jangan salah sangka begitu.”
“Salah sangka bagaimana?”
“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”
“Yang tidak-tidak apa?”
“Aku tidak capek karena kita miskin,
tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua sekarang, Bang. Aku diam karena
tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku tidak mau Abang memaksa
diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan. Aku masih kuat
menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”
Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop
itu di depan saya.
“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak
baik, nanti tidak akan pernah baik.”
Dia menggayut tangan Ade, lalu
membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik kepada saya lalu
menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan telunjuknya.
Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh
istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah. Memang anak dan istri saya
tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang masuk neraka,
asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi dua
lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking
menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak
saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya
menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai itu. Tiba-tiba saya
terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang
isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop
itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya
berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua ketika
menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua
dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai
gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop itu, lalu
gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya.
Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan
rumahnya dan membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.
Dengan gelap jelalatan karena geram saya
keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari
berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh tetangga.
Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam
kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu
kejahatan. Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi
perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam
kiat dan keberanian.
Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak
peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah tetangga bajingan itu. Kaca-kaca
pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya hajar.
“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang
dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”
Hampir saja rumah barunya saya bakar,
kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan kemudian menghajar saya
habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya telinga saya masih
bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.
Agustus sudah berlalu..Satu dua kali
hujan mulai turun. Bendera-bendera merah-putih yang berjajar di sepanjang jalan
sudah lenyap. Memang ada juga beberapa pedagang yang masih saja ngotot
memasang. Umumnya penduduk sudah menyimpan kembali benderanya untuk dikeluarkan
lagi nanti tahun depan. Tetapi bendera merah-putih raksasa yang berkibar di
rumah orang kaya itu masih belum diturunkan.
“Ini bukan tidak ada maksudnya,” kata
Amat curiga. “Mengapa dulu dia segan memasang, tetapi sekarang justru bandel
membiarkan bendera kepanasan dan kehujanan. Apakah kamu tidak perlu ke sana
lagi dan bertanya, Ami?”
Ami menggeleng.
“Saya sudah kapok, Pak. Kalau Bapak mau
silakan saja tapi jangan bawa-bawa Ami.”
“Kenapa?”
“Kami anak-anak muda tak tertarik lagi
dengan sandiwara over actingnya itu.”
“Apa maksudmu dengan over acting?”
“Mantan wakil rakyat itu dengan segala
macam caranya sedang berusaha memikat perhatian kita. Tak usah diladeni. Masih
masih orang yang lebih pintar dari dia yang perlu kita perhatikan.”
“Siapa?”
“Kami.”
“Kami siapa?”
“Ami misalnya.”
“Karena kamu anak muda?”
“Jelas!”
“Tapi apa kamu punya uang 5 milyar?”
Ami terbelalak. Amat segera berpakaian.
Mengenakan sepatu dan baju batik. Ami terpaksa bertanya.
“Bapak mau ngapain?”
“Ke rumah orang kaya itu.”
“Menanyakan mengapa dia tidak menurunkan
bendera?”
‘Tidak. Menagih janjinya untuk
menyumbang 5 milyar. Kalau gagal, baru menanyakan mengapa dia tidak menyimpan
bendera padahal sudah tahu sekarang kita hampir memasuki musim hujan.”
“Kenapa Bapak jadi ngurus sumbangan
orang?”
“Sebab Bapak tidak mau dia menjadi
terkenal hanya karena mengancam akan menytumbang 5 milyar. Kalau mau nyumbang,
nyumbang saja seperak juga akan diterima baik. Jangan menyebar kabar sabun
menyumbang 5 milyar tapi tidak ada prakteknya. Itu kan membuat semua orang
mimpi.”
Ami masih terus hendak mendesak, tapi
Amat menutup percakapan.
“Nanti saja kalau Bapak sudah pulang
dari sana!”
Ami geleng-geleng kepala. Dia kasihan
kepada bapaknya yang sudah tua dijadikan permainan oleh orang banyak.
Ditokohkan sebagai nara sumber dan panutan. Tapi giliran menagih sumbangan
didaulat untuk jalan kaki sendirian bagaikan pengemis pada orang kaya yang
pasti tidak akan sudi membuka dompetnya dengan selembar rupiah pun. Apalagi 5
milyar.
“Orang kaya tidak akan mungkin berduit
kalau tidak pelit. Lihat saja nanti hasilnya pasti nol!” kata Ami mengadu pada
ibunya.
“Biar saja Ami, daripada bapakmu
ngerecokin di rumah, biar dia ke sana, siapa tahu beneran.”
“Ibu jangan begitu. Meskipun sudah
pensiun, tetapi Bapak itu masih sama bergunanya dengan orang lain, asal jangan
memposisikan dirinya sudah tua.”
“Tapi Bapakmu kan memang sudah tua.”
“Memang, tapi keberadaan orang tua sama
pentingnya dengan anak muda.”
“Ya itu dia. Makanya Bapakmu sekarang ke
sana mengusut sumbangan 5 milyar itu. Kalau kejadian kan kita semua untung.
Sekolah berdiri dan kita dapat 10 persen.”
Ami terkejut.
“Sepuluh persen apa?”
“Lho kamu tidak tahu toh? Siapa saja
yang berhasil mengumpulkan uang sumbangan untuk melanjutkan pembangunan gedung
sekolah kita dapat bagian 10 persen dari sumbangan itu..”
Ami tertegun. Andaikan benar, tak usah
sepuluh, satu persen dari 5 milyar saja kehidupan keluarga Amat akan bersinar.
Ami langsung bermimpi. Apa saja yang akan dia beli kalau missi bapaknya
berhasil. Ia sampai terlena di kursi menunggu bapaknya pulang.
Ketika Amat masuk rumah, ia heran
melihat Ami menggeletak di kursi.
“Bangun Ami, nanti kamu masuk angin.”
Ami terkejut, tapi kemudian langsung
bertanya.
“Bapak berhasil?”
“Ya.”
Ami berteriak: yes!
“Stttt jangan teriak sudah tengah malam
ini.”
“Jadi Bapak akan dapat sepuluh persen?”
“Ya.”
“Sepuluh persen dari 5 milyar?”
“Tidak. Dia mengubah angkanya.”
“Berapa. Sepuluh milyar?”
“Seratus ribu.”
“Ah? Berapa?”
“Seratus ribu.”
“Lho kenapa?”
“Bapak bilang kepada dia baik-baik.
Tidak usahlah menyumbang sebanyak itu. Malah nanti akan menimbulkan persoalan
dan pertengkaran kita di sini. Di mana-mana duit biasanya membuat cekcok. Jadi
Bapak bilang, daripada kawasan kita yang damai ini menjadi neraka yang penuh
dengan saling curiga-mencurigai, lebih baik jangan membuat persoalan. Sumbang
yang wajar saja, seratus ribu sudah cukup untuk memancing para warga lain
menyumbang.”
Ami ternganga.
“Aduh, Bapak kenapa jadi bego begitu?”
‘Karena Bapak tahu semua omongan 5
milyarnya itu hanya isapan jempol. Daripada dia terkenal karena hisapan
jempolnya itu, kan lebih baik dipaksa bertindak yang konkrit saja dengan
nyumbang seratus ribu. Itu untuk menutupi rasa malunya sudah keceplosan ngomong
5 milyar, sampai-sampai dia tidak berani lagi tinggal di rumah karena takut
ditagih. Itu sebabnya selama ini dia menghilang bersama keluarganya, makanya
benderanya tidak pernah diturunkan. Sekarang beres, dia sudah nyumbang seratus
ribu, ini duitnya. Dan benderanya sudah diturunkan. Paham?”
“Tidak.”
Amat terhenyak. Lalu menjatuhkan
badannya ke kursi seperti nangka busuk.
“Bapak juga tidak paham. Mengapa dia
mau. Padahal Bapak hanya mengertak maksudku supaya dia malu dan langsung
nyumbang 5 milyar!”
Seorang seniman mendapat penghargaan.
Tetapi tidak seperti di masa-masa yang lalu, hanya berupa piagam dan uang
seupil. Ia ditimpa doku yang lebih besar dari yang diterima Susy Susanti ketika
menggondol emas untuk bulutangkis di Olimpiade Dunia. Lima milyar.
Rakyat terpesona. Tak menyangka seni
bisa menelorkan rizki sehebat itu. Sudah cukup bukti dunia seni kering, banyak
seniman mati sebagai kere. Menjadi seniman sudah dicap semacam kenekatan. Lebih
dari 90 persen lamaran seniman ditolak oleh calon-mertuanya, kecuali ada
komitmen mau banting stir cari pekerjaan lain yang lebih produktif.
Masyarakat seniman berguncang. Angin
segar itu membuat profesi seniman naik daun. Tapi berbareng dengan itu hadir
pula dengki. Mengapa baru sekarang terjadi? Dan mengapa jatuhnya kepada Dadu,
yang langganan ngutang di warung tapi ogah bayar itu?”
“Apa tidak ada pilihan yang lebih baik?
Masak pemalas begitu dikasi hadiah. Ntar juga habis dipakai minum dan nyabo.
Itu kan tidak mendidik. Cari dong kandidat yang lebih layak. Masak di antara
220 juta jiwa ini tidak ada yang lebih keren?”
“Jurinya ada main!”
Dadu tidak peduli. Dengan tenang-tenang
saja, ia menyiapkan penampilannya yang layak pada malam penerimaan hadiah. Ia
ngutang beli jas dan dasi. Langsung itu jadi bahan omongan.
“Sialan, dulu ngaku alergi sama hadiah
dari pemerintah. Sekarang baru diuncal duit gede ngibrit tak peduli nasib
rakyat! Dasar penjilat! Pengkhianat! Mata duitan!”
Dadu sama sekali tidak goyah oleh
sindiran itu.. Ia malah menganggapnya sebagai publikasi gratis. Hadiah itu
diterimanya dengan senyum lebar. Wajahnya terpampang di halaman depan koran.
Kelihatan bangga dan yakin pantas menerima kehormatan. Suara-suara penentangnya
menjadi bertambah lantang.
“Kita sudah dibeli semua! Tidak ada lagi
yang punya harga diri! Banci!”
Di situ Dadu baru naik darah.
“Bangsat!” teriaknya mencak-mencak.
“Sejak kapan mereka berhak mengkomando siapa aku ah? Sejak kapan aku harus jadi
budak dan menyerah dicocok-hidung oleh setan-setan yang mau menjadikan aku
pahlawan itu! Aku ini si Dadu, anak miskin yang tidak mampu beli celana dalam.
Makan juga nembak melulu! Aku bukan pahlawan kemiskinan yang menentang kemapanan.
Aku bukan tentara bayaran yang mau bertempur untuk memuaskan mereka yang mau
mengadu aku dengan pemerintah! Aku milik diriku yang yang akan aku pertahankan
sampai titik darah penghabisan. Aku tidak akan terpancing oleh segala hasutan,
provokasi, gerpol dan teror itu. Aku lakukan apa yang aku yakin baik aku
lakukan. Persetan sama kalian semua! Jangan ganggu kemerdekaanku anjing! Kalian
binatang semua!”
Nyamuk pers senang sekali Dadu kalap.
Mereka segera merubung untuk memancing Dadu mengumpat lebih liar. Kalau ada
yang berkelahi berita akan laku keras. Untung pacar Dadu mengingatkan.
“Sabar Bang. Hadiah baru diterima, darah
abang jangan naik. Kalau struk atau kena serangan jantung, lima milyar tidak
ada gunanya.”
Dadu tertegun.
“Tapi aku marah. Kenapa aku dipancing
jadi pahlawan. Kenapa bukan mereka saja yang menjadikan dirinya pahlawan. Aku
berhak menikmati hadiah ini.”
“Memang.”
“Coba dia yang jadi aku. Tidak usah lima
milyar, lima juta juga sudah akan menyembah!”
“Tidak usah ngomong begitu!”
“Kenapa?”
“Sebab itu yang memang mereka mau!”
“Jadi mereka senang kalau aku marah?”
“Persis!”
“Kalau begitu biar aku marah saja terus
supaya mereka puas dan berhenti mengganggu kita!”
“Tak mungkin!”
“Mengapa tidak?”
“Sebab mereka menginginkan kamu menjadi
seorang pahlawan!:
Dadu tercengang.
“Itu dia yang aku tentang!”
“Jangan. Itu jangan ditentang. Jadilah
seorang pahlawan!”
“Aku tidak sudi!”
“Dengerin dulu! Mau denger tidak?!!”
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih menggumam.
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih menggumam.
“Aku tidak mau jadi pahlawan kesiangan!”
“Tidak usah. Tapi jadilah pahlawan,
dengan cara kamu!”
“Maksudmu?”
“Jadilah pahlawan tetapi tidak dengar
cara seperti yang mereka mau. Jadilah pahlawan menurut cara kamu sendiri!”
“Memang itu yang aku lakukan!”
‘Tidak! Dengan marah kamu masih menjadi
pahlawan dengan cara yang mereka mau!”
Dadu menyimak.
“Maksudmu bagaimana?”
“Terima penghargaan itu, karena itu
sebuah pengakuan yang terhormat, tetapi kembalikan hadiahnya, karena lima
milyar itu sudah membuat banyak orang merasa dirinya begitu miskin, sehingga
mereka mengaum meminta kamu menolaknya!”
Dadu terdiam.
“Bagaimana?”
Dadu memejamkan matanya.
“Bagaimana?”
Dadu membuka mata dan menatap pacarnya
sambil berkata lirih dan tenang.
“Ternyata kita berbeda.”
“Berbeda?”
“Ya. Aku mengingin penghargaan itu
karena mereka sudah memberikannya. Dan aku juga menginginkan duit 5 milyar itu
sebab aku memang berhak mendapatkannya! Aku sama sekali tidak tertarik menjadi
pahlawan, sebab aku manusia biasa! Aku tetap akan menerima sebab aku berhak
menjadi diriku!”
Mereka berpandangan. Tiba-tiba pacar
Dadu memeluk erat sambil berbisik.
“Kamu benar-benar seorang pahlawan!”
Ada anak perempuan yang tiba-tiba mengurung
dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam rumah ia lebih
banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan menimbulkan curiga
tetangga.
“Kalau tidak bunting tetapi tidak
ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang
tetangga.
Keluarga langsung mengadu kepada yang
berwajib..
“Kami sudah difitnah, Pak. Kami
bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap membuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan tindakan bejat. Jiwa-raganya
sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi sekali. Dia hanya memutuskan tidak
mau keluar rumah lagi sebab dia mau merdeka.”
Petugas yang mencatat pengaduan itu
bingung.
“Mau merdeka?”
“Ya.”
“Tapi kita sudah merdeka sejak 17
Agustus 1945!”
“Itu kemerdekaan politik, Pak. Anak saya
mau merdeka di dalam berekspressi.”
Petugas berhenti mencatat. Dia berpikir,
lalu permisi ke belakang. Di belakang ia berunding dengan teman-temannya.
Petugas lain, lebih senior, lalu muncul, menggantikan bertanya.
“Bapak tadi mengatakan bahwa kita belum
merdeka?”
“Bukan begitu, Pak. Saya mengatakan
bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia ingin merdeka di dalam
berekspresi.”
“Silakan. Kita kan sudah merdeka.”
“Tapi itu tidak akan bisa dilakukan di
luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu kebebasan orang lain. Kami bisa
diswiping.”
Petugas itu berpikir. Akhirnya bertanya
dengan curiga.
“Tergantung dari apa yang mau Bapak
lakukan!”
“Berekspresi saja, Pak.”
“Ya apa itu?”
“Berbicara, berbuat, berpikir,
bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan sebagainya, Pak.”
“Silakan. Selama itu tidak mengganggu
ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas melakukannya. Bahkan mengganggu
pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam pikiran Bapak saja.”
“Bukan saya, Pak. Anak saya. Saya
melaporkan apa yang menimpa anak saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di rumah, Pak.”
“Sakit?”
“Sama sekali tidak, Pak.”
“Kenapa tidak datang sendiri melapor ke
mari?”
“Sebab dia konsisten dengan pendapatnya,
Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi berekspressi sekarang, karena akan
dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi dia sudah beberapa bulan ini
berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena dia difitnah dikatakan bunting
atau gila. Belakangan saya dengar ada yang menghasut, kalau gila harus
dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan mengganggu masyarakat.”
“Jadi ada pihak-pihak yang menekan Bapak
supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit Gila?”
“Arahnya pasti ke situ, Pak.”
“Konkritnya Bapak kemari mau mengadukan
……. ?”
“Fitnah, Pak!”
Petugas itu melihat ke mesin ketik.
Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan itu sambil ngedumel.
“Kalau begitu ini salah. Jadi Bapak
sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak bapak ke Rumah Sakit Gila!”
“Bukan, bukan begitu, Pak.”
Petugas tertegun.
“Jadi bagaimana?”
“Saya datang untuk meminta perlindungan.
Berikanlah hak pada anak kami yang tidak ingin keluar rumah. Sebab dia ingin
bebas mengekspresikan dirinya di dalam rumah. Dengan tidak keluar rumah,
sebenarnya anak saya kan mau memelihara kebebasan orang lain di luar rumah?
Mestinya mereka berterimakasih, tetapi kenapa anak saya malah difitnah?”
Petugas itu menarik nagas panjang.
Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia meletakkan rokoknya, lalu
permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama kemudian, atasannya muncul.
Masih muda dan cakap.
“Selamat pagi, Pak, ada persoalan apa?”
Senyum dan keramahan petugas yang
rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak yang mengadu itu. Ia langsung
berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar putrinuya, dia akan menyerah
tanpa syarat.
“Ada masalah apa?”
“Anak saya difitnah, Pak.”
“Difitnah bagaimana?”
“Difitnah bunting dan gila karena tidak
keluar rumah, Pak.”
“Kenapa tiak keluar rumah?”
“Sebab dia merasa sekarang kemerdekaan
sudah diartikan seenaknya oleh orang lain, sehingga kemerdekaan itu membuat
orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan sudah setengah abad merdeka, Pak.
Anak saya merasa kebebasan berekspresinya terancam di luar rumah, jadi dia
berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah diserang oleh massa. Saya datang untuk
mendapatkan perlindungan.”
Pejabat muda itu mengangguk.
“Putri Bapak itu seniman?”
Bapak yang mengadu itu mengeluarkan
dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.
“Anak saya ini, Pak.”
Semua tercengang melihat foto seorang
gadis yang cantik dan sensual.
“Wah putri Bapak cantik sekali. Wajar
masyarakat protes, kenapa orang secantik itu tidak mau keluar rumah lagi.”
Muka Bapak yang melapor itu tiba-tiba
pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti baru bangun tidur, buru-buru
permisi dan membatalkan pengaduannya.
“Ternyata kita selalu bisa melihat
segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya makna kebebasan,”bisiknya
dengan sungguh-sungguh pada putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar