Jumat, 22 Agustus 2014

cerpen EMAKKU JADI IBU,SEBUAH ARCA DAN SUNAT


Emakku jadi ibu
Pudji Isdriani K.

Jalanan berdebu, laki-laki bersarung naik
sepeda, beberapa becak berisi tembakau berpapasan
denganku. Setiap penduduk yang kutemui di jalan
berdebu desaku mengangguk ramah. Pohon-pohon
bambu berjejer dan bergoyang di sepanjang jalan.Anak-
Anak lelaki kecil bertelanjang dada berlarian di halaman
rumah. Sebuah pemandangan yang nyaris aku lupakan.
Inilah wajah desa, bagaimanapun aku adalah bagian
darinya. Jika selama ini aku mencoba mengingkari,
itu adalah fatamorgana. Aku tetap berakar di sini.
Hatiku terasa lapang,langkahku terasa ringan.Aku ingin
bertemu emak. Aku ingin bersimpuh dan mencium
tangannya. Aku sungguh rindu dengan suasana desaku.
Aku sangat ingin makan lalap daun kenikir dengan
sambal kereweng buatan emak. AH . . . pasti tidak
kalah dengan masakan restoran manapun di kota.
. . . . “Halo,bagaimana kabarmu, Nak?
Tiba-tiba,ada suara menyapa dan rasanya suara
itu tidak asing,sangat akrab dengan telingaku. Ya,
Tuhan! Itu adalah suara emak. Aku semakin bingung
dan tercengang ketika emak muncul di hadapan ku
dengan penampilan berbeda. Rambutnya yang biasa
digelung sekarang dipotong pendek sebahu. Wajahnya
cerah dengan sapuan make up dan lipstik tipis merah.
Kain kebaya yang biasanya melekat pada tubuhnya
Diganti rok span dan kaos ketat.
“Mak?”
Aku masih terpana dan tidak mempercayai
Penglihatan sendiri.
“Akhirnya kamu pulang juga,Nak.Emakmu,
eh . . . . . ibumu ini sudah lama menunggu. Ibu yakin
kamu pasti pulang. Dan jangan khawatir , sekarang
kehidupan kota selalu kamu inginkan ada di rumah
kita. Ibu ingin kamu betah tinggal di rumah
kita. Nanti ibu buatkan donat dan fried chicken,ibu sudah kursus.
Oke?”
. . . . . Aku bengong seperti sapi ompong. Aku
Tidak bisa berkata-kata, semua perbendaharaan kata
Yang berjejak di otak,tak satu pun yang keluar.Mulutku
Mendadak terkuci rapat. Oh, Mak……….
Sebuah Arca
Oleh: Darwis Khudori

Kriya tengah mencangkul tanah sawahnya yang kering dan berbongkah-bongkah ketika tiba-tiba ia merasa mata cangkulnya membentur sesuatu yang sangat keras. Ia kenal segala macm batuan dan jenis tanah. Tapi ini lain. Lewat tangannya yang memegang tangkai cangkul itu ia merasa tangkai cangkulnyacuil dalam perbenturan itu. Buru-buru ia menariknya. Dugaannya tidak meleset.
Dengan hati-hati ia sibakkan tanah itu dengan cangkulnya. Apa yang ditemukannya tidak membuat heran mula-mula. Tak lebih dari sebongkah tanah yang amat keras. Ia ketok-ketok bongkahan batu itu ke tangkai cangkulnya. Butir-butir tanahnya berguguran. Akhirnya ia mendapatkan sebuah arca kehitaman tanpa kepala. Kecil saja, sekecil pisang raja. Kemudia ia menggosoknya lama-lama sehingga jelas lekuk liku tubuh arca itu. Meskipun tanpa kepala tapi jelas ia perempuan. Ia telanjang dan segala lekuk-lekuk tubuhnya dipahat dengan sempurna dan mendetail.
Tiba-tiba membersitlah sebuah harapan di  dalam hatinya. Ia tahu arca itu bukan batu, tapi logam. Dan tidakkah menggembirakan jika logam itu emas? Lalu terbayanglah rumah batu yang kokoh seperti rumah pak lurah,beberapa ekor kerbau dan sapi.
“hai, sobat apa kau buat?”
Ia buru-buru menyembunyikan arca itu ke balik sarungnya yang untung saja sejak tadi masih tergulung di pinggangnya. Kalau tadi ia meninggalkannya, apa jadinya? Tentu arca emas itu akan ketahuan pula oleh Rajab, sobat yang menegurnya itu.
“Biar lambat asal sampai kang!” jawab kriya sambil pura-pura istirahat.
“Tapi saya lihat sawahmu belum selesai kau cangkul?”
“Entahlah aku, merasa letih sekali hari ini”
“Ya, mukamu pucat”
Kriya lega mendengar kata-kata terakhir sobatnya itu. Ia buru-buru pulang dengan gembira yang hamper meledak di dadanya. Sepanjang perjalanan ia berpikir saja tentang arcanya.
“Emas ini,”pikirnya, “kira-kira setengah kilo. Kalau kujual, ya pokoknya banyak rezeki.”
“Tapi,”harapannya ditentang kecemasan,”tidakkah dia penghuni sawahku yang subur itu? Ia yang menunggu sawahku dan memakan hasil buminya yang melimpah ruah?”
Kriya pernah mendengar cerita tentang seorang petani yang memperoleh sebuah kendi emas di sawahnya. Tapi malamnya rumah petani itu digedor orang hitam-hitam dan petani itu mati dengan wajah mengerikan. Kriya pernah mendengar juga cerita tentang seorang peladang yang pada suatu malam menemukan seekor ayam yang sedang mengeram. Ia membawa pulang lengkap dengan telurnya tapi sampai di rumahnya ayam itu berubah menjadi tengkorak dan telur-telurnya jadi pentilan tulang-tulang. Lalu ia sakit dan mengigau terus-terusan,sementara dukun yang menanganinya mengatakan bahwa ia telah “salah dalam perbuatan” sehingga menjadi “salah jadinya”. Tiga hari sakit dan mati.
Kriya jadi ngeri dan bimbang. Tapi ia ingat akan anaknya yang selusin dan bininya yang setia. Telah lama ia ingin membahagiakan anak dan bininya dengan membelikan mereka perhiasan dan binatang ternak. Sedang ia sendiri menginginkan sebuah rumah yang kokoh sebagai ganti rumahnya yang miring. Tapi telah demikian lama, sejak ia membangun sebuah rumah tangganya hanya kemiskinan yang dideritanya. Sekarang, dengan arca emas itu, tidakkah ia akan menjadi orang kaya?
Tapi inilah kelemahan kriya dan kelemahan orang pada umumnya, bahwa makin berpikir, makin ragu-ragu ia. Hatinya penuh dengan “jangan-jangan ,jangan-jangan”. Dengan demikian sejak hari itu kriya menjadi pemalas dan pemenung. Berhari-hari ia tidak pergi ke sawahnya. Ini menjadi tanda Tanya bagi anak bininya.
“Diam!, ini urusanku!” bentak kriya ketika istrinya menanyainya. Ia merahasiakan arca telanjang tanpa kepala itu. Hatinya makin gundah dan rusuh saja. Sudah tentu ini menjadi teka-teki bagi kawan-kawan petani. Rajab mengira kriya betul-betul sakit. Para tetangga pun mengira demikian. Sehingga mulailah seorang-seorang menengoknya. Tapi yang ditengok sedang termenung di ambang pintu. Dan benar-benar, wajahnya pucat dan badannya kurus sedang matanya merah menandai kurang tidur.”Wah,nampaknya lelah kang?” Tanya jimakir sambil menyalaminya. Kriya menerima tangan jimakir. Besar,dan sapar dengan lembek  tanpa tenaga.
“Entahlah!”hanya itu yang terlompat dari mulutnya. Selebihnya hanya kediaman. Matanya pun tidak memandang kepada tamu-tamunya. Maka tahulah jimakir bahwa tuan rumah tidak suka dikunjungi. Dengan segera dia dan kedua temannya mohon diri dengan membawa teka-teki dalam hati.
Dan pada suatu malam para tetangganya terjaga ketika mendengar rebut-ribut di rumah kriya.kriya seperti orang kalap, mengamuk dan berteriak-teriak tak karuan.
“Minggat! Setan kepala gelundungan!”
“Aku tidak menyembunyikan tubuhmu!”
“Edan kau makan padiku!”
Istri dan anak-anak kriya yang masih kecil-kecil berdesakan ketakutan. Mereka melongo saja melihat kriya mengamuk, melecuti sapu yang kebetulan dipegangnya kian kemari. Orang-orang yang dating pun sejenak tercengang. Tapi segera sadar dan buru-buru menangkap dan memegangi kriya sementara yang lain mencari dukun.
Sejenak kemudian membersitlah bau kemenyan. Dukun bersila di depan sajian bermacan kembang sementara sebuah tungku kecil dengan arang yang membara berkepul didekatnya. Mulutnya tak berhenti komat kamit. Dipihak yang lain sebentar-sebentar kriya meronta. Tapi tangannya makin lemah sedang nafasnya berdengusan. Akhirnya ia pun terkulai dan orang menidurkannya diatas balai-balai.
Kemudian dukun itu meminta orang-orang menyingkir. Sesudah itu ia memeriksa sekujur tubuh kriya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang mengganjal di dalam gulungan sarung kriya. Tiba-tiba ia mengurainya dan dan didapatinya arca telanjang tanpa kepala bersinar kekuningan. Ia mengangguk-nganggukkan kepalanya, menimang-nimang arca itu dan memasukkannya kedalam surjanya.
Kemudian dengan tenang dicekiknya leher kriya lama-lama sementara tubuh dan kakinya menindih tubuh kriya dengan kuatnya. Untuk beberapa saat kriya meronta, tetapi kemudia diam untuk selama-lamanya.
Kepada orang-orang yang ada dukun itu berkata: “jangan kriya ditengok sampai esok pagi. Malam in malam kepastian. Kalau hyang mahaasih masih memperkenankan maka kriya akan segar bugar kembali esok pagi, tapi kalau tidak, apa boleh buat, kita relakan saja.”
Lalu dukun itu pergi setelah minim-minum dan makan juadah.
                                                                                                Pagelaran, oktober 1993

Sunat
Tahun 1947, jatuhlah giliranku. Aku baru saja naik kelas enam; kala itu. Bapak baru setengah tahun diangkat menjadi camat. Keadaan kami sangat melarat. Tapi entah bagaimana, aku sudah ingin sekali sunat. Dan ketika keinginanku ini kusampaikan kepada Bapak dan Ibu, ditolak. Tapi kemudian kesempatan bagiku mendatang jua, ketika pada suatu ketika Bapak mendapat undangan untuk menghadiri sunatan dari seorang Iurah. Aku memohon kepada bapak, supaya bapak mengizinkan aku ikut sunat pada Iurah yang segera akan punya hajat itu. Tapi kini masalahnya tidak sesederhana seperti yang ada di benakku. Tidaklah pantas, jika aku hanya di-nunut-kan; apalagi pada Iurah yang menjadi bawahannya. Begitu pendapat bapak. Tapi ibu lain lagi. Ibuku lebih lunak, mengingat kenyataan memang tidak perlu lagi terlalu berpegang pada gengsi … Dan akhirnya, karena kelunakan ibu serta kemauanku yang begitu besar, bapak mengalah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar